Mengubah ulat menjadi kupu-kupu
Persahabatan bagai kepompong
Hal yang tak mudah berubah jadi indah
Persahabatan bagai kepompong
Maklumi teman hadapi perbedaan
Persahabatan bagi kepompong
Saat saya memutuskan kuliah di Bandung, situasi dan kondisi jauh dari orang tua, akhirnya membawa saya pada pola pikir yang berbeda -Harus mandiri dan tidak manja-. Apalagi dengan kenyataan bahwa orang tua saya memiliki keterbatasan finansial untuk support saya, maka mau tidak mau saya harus tabah menjalani hidup di tanah rantau. Cailah... hehehe... Maka menjadi mandiri adalah satu-satunya pilihan.
Sampai dengan saat ini, saat saya sudah menikah, dan memiliki pekerjaan yang lebih settle, saya pun tetap ingin membangun diri sebagai pribadi yang independent. Tapi jauh di dalam sana... tidak dapat disangkal bahwa saya sebenernya memiliki karakter manja. Tidak banyak yang tau memang. Bahkan teman-teman dekat saya. Kalopun ada yang tau, togh saya tidak pernah berlaku manja sama mereka. Malu dong! Hanya pada beberapa orang tertentu saja saya berani bersikap kolokan. Selain Alison ada seorang teman yang dengannya saya merasa nyaman dan tidak malu untuk berlaku kekanak-kanakan atau kolokan. Hiks.
Ini adalah tahun kedua pernikahan saya dan suami. Tahun pertama, kami lewati dengan penuh sukacita (review nya ada di sini). Demikian pun halnya dengan tahun kedua ini. Hanya memang ada yang berbeda kali ini. Dinamisasi kehidupan di tahun kedua ternyata memang lebih seru dan lebih complicated dari tahun pertama. Begitulah.... adanya. Ketawa dulu agh... hehehe...
Di tahun kedua, Gusti Allah yang empunya semesta ini sedang mengajari kami sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Sebagai pihak yang punya kewenangan penuh atas kehidupan ini, Dia memang berhak membawa kita kepada jalan yang mulus, tapi Dia juga berhak mengajari kita melewati jalan berkerikil. Suatu proses fluktuatif. Lihatlah, semester pertama tahun ini seolah semua grafik kehidupan naik dengan mulusnya. Kami dibawa kepada optimisme-optimisme kehidupan hingga akhirnya Dia mengajari kami satu fase kehidupan yang berbeda sejak 3 bulan yang lalu. Dia mengajari kami cara menapaki jalan yang bergelombang. Dia mengajari kami meng-adjust keterbatasan, dan Dia mengajari kami menatap kenikmatan dari sudut pandang yang berbeda.
Nyatanya memang jalan yang sedang kami lewati ini tidak kalah seru dengan jalan-jalan mulus sebelumnya. Beberapa kali saya memang bersungut-sungut. Tapi, suami yang adalah pemimpin dalam perjalanan ini, masih selalu tersenyum. Dia menggandeng tangan saya dan membimbing saya dengan kesabarannya. Bahkan dalam penat dan tekanan pun, dia tetap menunjukkan optimisme bahwa kami pasti bisa melewatinya. Senyum dan bahkan tawanya membuat saya menyadari untuk "membiarkan kehidupan ini bergulir sedemikian adanya sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Bagian kita mengikuti nya saja".
Ini lah salah satu kenikmatan dari sebuah fluktuasi kehidupan. Satu hal yang saya kagum pada proses ini adalah ketabahan dan kesabaran suami saya melewatinya. Saya menatapnya dengan penuh haru. Saya kagum dan bangga punya suami dengan kualitas diri sedemikian rupa. Meski ini belum berarkhir, nyata sudah saya harus mengucap syukur pada Tuhan yang sudah mengijinkan kami melewati jalan ini. Di sini, banyak pelajaran berharga. Thanks babe, I’ m blessed to have u. Sure. :-D
Saya sendiri bekerja di sebuah Instansi Pemerintah Pusat yang berkedudukan di Jawa Barat pada bagian Litbang. Bekerja di bidang penelitian juga memungkinkan saya untuk melakukan berbagai perjalanan dinas. Memang tidak seintensif suami, secara saya masih keroco. Biasanya mobilitas jarak dekat seperti ke
Saya dan suami sebenernya tipikal moderat (saya sulit menemukan istilah yang tepat untuk hal ini). Maksudnya, pada dasarnya kami kurang suka dengan Long Distance Relationship (LDR), tapi juga tidak terlalu suka dengan kebersamaan yang terlalu sering. Nah lo bingungkan? Ya begitulah. Kami berada di tengah-tengah. Mengapa demikian? Melihat karakteristik kami, rasanya kalo untuk LDR hati kami tidak terlalu kuat menahan rasa kangen. Hihihi. Sebenernya, suami sempat ditawari bekerja pada sebuah Perusahaan di bidang pertambangan yang site nya di Afrika. Tapi Dia menolaknya dengan salah satu alasan kejauhan (:-D). Indonesia-Afrika itu jauh logh jendral. Dan kami sudah menikah, rasanya gimana gitu kalo jauhan. Hiks. Lagian suami dan teman-temannya sudah merintis usaha konsultannya sejak 2005, sayang ajah kalo ditinggalin. Trus juga, hidup di Bandung itu kagak ada matinye ya bok... alon-alon waton kelakon lah.
Sementara itu untuk “keseringan bersama” kami juga kurang suka. Waduh yang ini jangan disalah-artikan bacanya lho yah… Pada dasarnya, kami memiliki pandangan bahwa hidup ini bukan hanya tentang “pasangan hidup” saja. Di
Waktu "bersama" kami memang masih lebih banyak daripada "tidak bersama". Dan kebersamaan dengan pasangan memang sangat menyenangkan. Kita bisa sharing, becanda, diskusi, pengenalan karakter alias berantem (wakakakak...), dan lain sebagainya. Tapi saat tuntutan pekerjaan mengharuskan kita sejenak tidak bersama secara spatial (halah…), atau diistilahkan temporary LDR, maka biasanya kita gunakan untuk memuaskan aktualisasi ruang pribadi kita. Kadang saya menikmati waktu-waktu sendirian saya saat suami keluar
So, temporary LDR, nikmati ajah. Ada kok sisi positifnya. Jangan takut.
Ps. Buat yang lagi di sebuah hutan di Sumatera Selatan sana, I miss u! :-D
Untuk projek yang saya tangani, saya memang menginginkan sesuatu yang berbeda dari umumnya. Sesuatu yang bukan biasa-biasa. Saya menginginkan pemenuhan sebuah “ambisi intelektualitas” dan "ambisi creativitas". Sejak awal, metode yang saya gunakan memang berbeda dari biasanya, saya mencoba sebuah kombinasi metode yang saya pelajari dari 2 projek sebelumnya. Butuh waktu, ketekunan, dan kesabaran untuk menyelesaikan projek satu ini. Jujur, beberapa pekerjaan lain sempat terbengkalai karenanya. Saya sempat give up sesaat, tapi saya bangkit lagi. Bagi saya, tanggung jawab tetaplah tanggungjawab. Dan pengembaraan intelektualitas harus dipuaskan. Saya harus menyelesaikannya, tekad saya.
Akhirnya projek ini selesai. Paling pertama dari projek-projek lain. Dan saya sangat puas dengan hasilnya. Hari ini saya melenggang ke Kantor dengan sebuah perasaan “bangga” bahwa saya telah berhasil menyelesaikan semuanya dengan sempurna. Hati saya melambung dengan sesuatu berlabel “kepuasan intelektual”. I did it perfectly. Meski dengan setengah mati saya mengerjakannya.
Tapi ternyata tidak semua orang memahami. Saya “dikomplain” pihak keuangan HANYA karena dalam proses pembuatan laporan saya tidak melakukannya sesuai dengan prosedur koordinasi dalam pembelian ATK senilai 275.000. Katanya, saya harus lapor dulu sebelum melakukan pengeprintan laporan di rumah, pengeprintan cover ke digital printing, tidak ujug-ujug reimburs nota (apalagi untuk konteks ambisi pribadi yang disalah artikan). Saya terdiam berfikir, "is 275.000 IDR a big amount? Apakah nilai itu lebih tinggi daripada kerja keras saya?? Fyi, saya mengeprint dengan menggunakan printer, tinta dan kertas milik pribadi. Berwarna pula. Secara fisik dan otak, saya capek sekali mengerjakan projek ini. Saya sengaja hanya reimburs barang-barang yang inti saja, karena buat saya tinta berwarna dan kertas itu cuman sepele. Kecil sekali itu nilainya bagi saya. Bukan untuk sombong, tapi untuk menunjukkan bahwa it’s mean nothing, not big deal. Apakah gara-gara nilai kecil itu, kerja keras saya "dipandang sebelah mata"? Oke, fine. Bilanglah, dalam hal ini saya terpaksa harus dibilang "salah". Tapi sekali lagi perlu dilihat bahwa itu hanya masalah kecil, tidak bisa dibandingkan dengan waktu, tenaga, dan otak yang saya gunakan untuk menyelesaian projek ini. Come on, think logically!!!
Saya SEDIH dan MARAH. Baru kali ini saya merasakan kemarahan yang membuncah terkait dengan pekerjaan kantor. Mata saya nanar. Hati saya panas. Otak saya tidak bisa menerima. Saya berontak. Saya marah karena menurut saya mereka tidak menghargai keseluruhan pekerjaan saya. Semestinya bila mereka memahami rangkaian proses yang sudah saya jalani, pengorbanan waktu dan otak yang saya dedikasikan to this damn project, kesalahan kecil ini tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi, kalau mereka mengerti bahwa pihak client begitu respect sama apa yang saya udah kerjakan, mereka harusnya bisa mikir bahwa saya sudah melakukan bagian saya sebaik-baiknya.
Tidak taukah? Bahwa saya telah membuang waktu saya selama 4 minggu terakhir ini dalam sebuah KESTRESSAN tingkat tinggi, untuk sebuah ambisi melakukan yang terbaik bagi projek ini. Atas dasar NAMA BAIK lembaga. Bahwa saya yang selama beberapa minggu terakhir “terpaksa” melanggar komitmen awal saya pada suami untuk tidak pernah membawa pekerjaan kantor ke rumah. Dan bahwa saya yang dengan segenap hati melakukan yang terbaik dan memberikan sentuhan seni pada projek ini. Bahwa saya yang harus mengeluarkan dana pribadi dan turun tangan sendiri mengeprint ratusan lembaran laporan, berhujan-hujan naik motor, mencari tempat digital printer yang bagus, menungguinya berjam-jam, hanya karena ingin memastikan bahwa hasilnya baik.
I think there is no reason to beat me. I’ve died to try my best. Sayang, mereka tidak paham dan tidak mengerti.
Pelajaran Moral hari ini: Jangan libatkan bagian keuangan untuk urusan "creativity" dan "kepuasan intelektual". Funded it by yourself and keep it to the people who have the same vission.