Tuesday, February 08, 2011

... Perbedaan Bukanlah Kesalahan...

Sebagai manusia, kita akan merasa lebih nyaman bila berbicara dan berinteraksi dengan orang-orang yang cenderung memiliki kesamaan dengan kita. Menurut saya, hal itu wajar bin normal. Karena memang pembicaraan antara dua orang atau lebih akan terasa nyambung bila masing-masing pihak berbicara pada “frekuensi” yang sama. 

Dalam konteks pertemanan sehari-hari, bertemu dan berbicara dengan orang yang memiliki hobby yang sama memang akan lebih nge-klik ketimbang dengan teman dengan hobby berbeda. Sesama pecinta U2 tentu akan lebih nyambung saat ngomongin soal Bono dan The Edge ketimbang dua orang dengan selera musik berbeda. Sesama penggemar film-film triller, tentu akan lebih nyambung omongannya ketika membicarakan film-film seperti Fight Club, The Dark Knight, atau Shutter Island, ketimbang dua orang dengan taste film yang berbeda.  

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu yang sering kali kita banggakan dari negara kita, Indonesia, adalah keberagamannya. Kita dengan bangga menyebutkan begitu beragamnya suku bangsa, bahasa, agama dan keyakinan, budaya dan tradisi yang ada di negara kita. Merasa nyaman bila bergaul dalam komunitas yang memiliki kesamaan etnik, agama/keyakinan, dan bahasa, adalah hal yang lumprah

Masalahnya, dunia ini penuh dengan perbedaan, dan kita tidak selalu bisa bertemu dengan orang yang “selalu sama” dengan kita. Pun dua orang dengan hobby yang sama, pasti memiliki perbedaan dalam hal-hal lain. Ketika saya, yang tidak terlalu menyukai sejarah, bertemu dengan seseorang yang seolah menjadikan sejarah sebagai passion-nya, bukan berarti saya tidak bisa berteman dengannya, bukan?  Bukankah, saya tinggal duduk diam mendengarkan, sembari sesekali menanggapi ceritanya dan saya mendapat mengetahuan gratis soal sejarah darinya. Hal yang sama semestinya terjadi dalam konteks perbedaan lainnya. Karena menurut saya, sebuah perbedaan akan jadi sangat menyenangkan ketika kita memilih untuk mengganggapnya sebagai sebuah kekayaan, tanpa perlu menjadi sangat bawel kenapa seseorang memilih menjadi berbeda. 

Dimanapun, perbedaan adalah bagian dari kehidupan yang tak terelakkan. Baik dalam konteks pertemanan maupun kehidupan berbangsa dan bernegara, perbedaan adalah warna yang mestinya bisa memperkaya kehidupan. Namun, fakta menunjukkan bahwa berkali-kali kita telah gagal memahami makna keberagaman. Berkali-kali kita gagal memandang perbedaan sebagai sebuah kekayaan. Berkali-kali kita tidak mampu menjiwai kebanggaan kita terhadap kebhinekaan Indonesia. Kita malah lebih sering melihat perbedaan sebagai sebuah ancaman, sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan. Dan ketika perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang meresahkan, dampaknya sungguh mengerikan.  

Saya berfikir, 

Bila perbedaan adalah sesuatu yang tak terelakkan, lantas kenapa kita masih sering sekali menolaknya? Bila perbedaan adalah bagian yang takterhindarkan, lantas kenapa kita malah sering kali mengharamkannya? Bukankah ketika kita tidak bisa menerima keberagaman, kita sebenarnya sedang mengutuki Tuhan? Ketika kita menolak perbedaan, bukankah kita sedang mencibir kebesaran karyaNya?

Mungkin karena nurani kita telah “terkaburkan” oleh fanatisme, sehingga kita tidak bisa melihat dengan jernih makna sebuah perbedaan. “Menjadi berbeda”  bukanlah suatu kesalahan, apalagi dosa. Ia ada dan tidak perlu diperdebatkan keberadaannya. Pun dalam konteks keyakinan, menjadi berbeda bukanlah hal yang  perlu dipersoalkan. Karena bukankah perbedaan adalah bukti keagungan dan keluarbiasaan Tuhan dalam menciptakan manusia. So, mestinya, perbedaan penjadi pengingat kita akan kebesaran karyaNya. Dan bahwa bagian kita adalah menghormatinya (saja).


Kobe, Japan, 8 February 2011

Gambar diunduh dari: http://nihongo.istockphoto.com/stock-illustration-1779882-diversity-hands-vector.php

Sunday, February 06, 2011

Cerita Sebuah Perjalanan

Sebagaimana kebanyakan orang, saya menyukai perjalanan dan tempat baru. Bukan sekedar demi sebuah profil keren untuk ditampilkan di facebook, tapi memang saya menikmati setiap moment dalam perjalanan yang saya lakukan. Saya sangat menikmati proses eksplorasi hal hal baru. Saya menikmati proses berinteraksi, pun dalam diam, di tempat baru saya mendapatkan kesenangan dari sebuah proses mengamati. Passion saya seolah ada disana. That's why, for me, working on itinerary is always much more fun instead of working on economics journals, particularly journals on monetary theory and international finance. Those two subjects are used to put me in many long and tiring nights...  :-D!

Dengan atau tanpa teman, bagi saya perjalanan tetaplah menyenangkan. Menyenangkan karena bagi saya, tempat baru seolah men “quarantee” adanya pengalaman baru di sana. Suasana baru, budaya baru, nilai (values) baru, orang-orang baru adalah variable-variable yang membuat sebuah perjalanan menjadi bermakna “seru”. Sebagaimana kata seru dalam tanda kutip, masing-masing orang memiliki privilege untuk mendefinisikan sesuai keinginannya. Bagi saya pribadi, “seru” tidak harus lahir dari hal-hal yang menyenangkan. Entah kenapa, sebuah perjalanan selalu membuahkan sesuatu yang tak terduga. Entah ketakterdugaan karena sesuatu yang menyenangkan ataupun kurang menyenangkan. Dan jujur, saya menikmatinya. Saya belajar darinya.

Eropa dan Asia timur adalah salah satu mimpi saya tahun lalu. Karena pas itu sudah pasti berangkat sekolah ke Jepang, saya merencanakan perjalanan saya ke Europe sekalian. Pas itu, pikir saya: mumpung ntar  lagi sekolah di Jepang, saya pengen maen ke Eropa. Kalimat ini mungkin terdengar kurang rasional buat sebagian orang. Bagaimana tidak, it takes 19 hours (plus 3 hours transit in Hongkong) from Kansai to Amsterdam. It means, penggunaan kata “mumpung” pada kalimat tersebut kuranglah tepat, karena butuh niat di sana. It also takes 110.000 yen for asking Cathay Pacific to fly me from Kansai to Amsterdam. It’s not cheap. Sekali lagi, butuh niat di sana. Tapi saya mendefinisikan kata “mumpung” dari sudut pandang yang berbeda. Dan, “mumpung” disana saya definisikan sebagai mumpung saya punya waktu untuk melakukannya. Hehehe... :-p

Entah sebuah keberuntungan atau “keapesan” (hehehe...), saya keterima sekolah di Kobe University yang mensyaratkan ngambil matakuliah 20 sks, yang bikin orang pontang panting ujian, ngerjain papers dan presentasi. Entah sebuah anugerah atau “musibah”, saya terlahir dengan beberapa idealisme yang kadang menempatkan saya kedalam beberapa masalah. Misalnya kewajiban ambil kuliah cuman 6 kuliah + 2 seminar, saya genapkan dengan mengambil 8 kuliah + 2 seminar. Dan idealisme itu mahal harganya, jendral!... :-D. Butuh malam-malam panjang penuh dengan begadang di sana.

Keruwetan karena “padatnya” kuliah belum cukup nampaknya, sehingga mesti ditambah dengan keruwetan ketika mesti berurusan dengan kedutaan Belanda di Tokyo. Saya tinggal di Kobe, it’s about 8 hours away from Tokyo by bus or less then 3 hours by shinkansen (super fast train). But I prefer went to Tokyo by bus instead of gave up 30.000 yen as a trade off if I go by shinkanshen (ngirit... ngirittt). Sebenernya, Konsulat jendral Belanda ada yang di Osaka yang jaraknya 45 menit dari Kobe, tapi apesnya saya, sejak Aprl 2010, Konjen Belanda yang di Osaka tidak melayani pembuatan Visa Schengen lagi. Hehehe... berhubung invitation letter saya dari seorang temen di Belanda, mau gak mau saya apply ke kedutaan belanda, which means I have to go to Netherland Embassy in Tokyo in person. Lagi-lagi, butuh niat disana.

Karena saya baru nyampe di Jepang tgl 29 September 2010 dan apply visa schengen sekitar pertengahan november 2010, membuat pihak kedutaan belanda seolah ragu-ragu untuk mengabulkan permohonan visa saya. Karena itu berarti rekening bank saya baru berumur 1.5 bulan pada saat proses aplikasi. Note: biasanya kedutaan memerlukan umur rekening minimal 3 bulan. Hahaha... bener-bener dah. Berkali-kali pihak kedutaan menekankan bahwa umur rekening saya masih baru. Saya pasrah saja pas itu, lha wong emang rekeningnya masih baru (plus gak bawa buku tabungan yang Indonesia pulak).  Pas itu, tiket sudah ditangan saya. Brubung itu tiket promo yang tanggalnya fixed, posisi saya pas itu cukup “kritis”, artinya kalau visa saya tidak diapprove dan saya batal berangkat, maka saya akan terkena cencellation fee 40%. Deg-degan abis!!, Tapi saya beruntung, sekitar seminggu kemudian, saya berhasil mendapatkan financial quarentee dari sponsor yang langsung saya emailkan ke Kedutaan Belanda yang di Tokyo. Gotchaa... 2 minggu kemudian saya dapet berita bahwa visa schengen saya diapprove. 

Keribetan belum berakhir karena saya baru mendapatkan paspor saya dari Kedutaan Belanda 3 hari sebelum berangkat, saat itu saya juga masih menyimpan kestressan akibat masih harus presentasi sehari sebelum berangkat. Fyughhh... bener-bener!! Akhirnya tanggal 22 Desember dengan berbekal satu ransel dan 1 tas slempang saya berangkat dari Kansai International Airport menggunakan Cathay Pasific, transit di Hongkong dan kemudian mendarat di Schipol, Amsterdam.

Meski diawali dengan keribetan dan kekacauan saat persiapan, perjalanan ke eropa kemaren termasuk perjalanan yang saya syukuri dan saya bilang sangat berkesan. Sebagaimana saya bilang sebelumnya, setiap orang pasti berharap hal-hal menyenangkan terjadi dalam hidupnya, termasuk dalam perjalanan yang dilakukannya. Tapi faktanya, perjalanan sering kali membuahkan sesuatu yang tak terduga. Sesuatu yang tak terduga itu bisa jadi menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Entah apa pendapat orang lain tentang cerita tidak enaknya di perjalanan, bagi saya pengalaman tidak selalu diperoleh dari hal hal yang menyenangkan. 

Sebenernya, beberapa “kekacauan” juga terjadi selama perjalanan ke eropa kemaren. Pesawat saya dari Eindhoven ke Madrid dicancel gara-gara badai salju yang berakibat tiket pesawat dari Madrid ke Paris hangus (dan kudu naik bus dari Amsterdam ke Paris), sedikit konflik pertemanan yang berdampak pada  tiket pesawat Berlin-Amsterdam juga rela saya hanguskan karena sesuatu hal, masalah kedinginan karena itulah winter pertama saya, dan beberapa hal lainnya. Tapi itu semua memberi pelajaran berharga buat saya.  Setidaknya saya paham how to deal with these such situations.

Cerita menyenangkan dari sebuah perjalanan pastilah ada. Banyak malah. Seperti cerita saat ngerayain natal bareng dengan keluarga Om John ama Tante Dorthy, WNI yang dari tahun 1978 tinggal di Belanda, ketemu temen-temen kuliah dulu di ITB dan UI, kenalan dengan temen-temen baru, mengunjungi sorbonne yang bikin jantung deg-degan, ngeliat Lovre dan Versailess yang merupakan bagian dari keingintahuan karena cerita sejarah dan cerita film, menikmati malam tahun baru di paris meski gak ada kembang api (hihihi... ), menjajal transportasi di negara-negara eropa, melihat budaya dan kebiasaan orang, berinteraksi dengan backpackers lainnya, ketemu orang-orang seru dan inspiring, ngeliat cowok-cowok ganteng (halah), berbagi cerita dengan temen-temen, dan lain sebagainya.

So, bagi saya, 18 hari perjalanan ke Eropa bulan lalu adalah perjalanan “seru” karena itu adalah bagian dari mimpi-mimpi lama. Dan bagi saya, tidak ada hal yang lebih seru dari saat kita bisa berjalan didalam hal-hal yang kita pernah impikan. Kita memang tidak pernah bisa menduga rangkaian cerita akhir dari sebuah perjalanan, makanya, nikmati saja kemana angin membawa. Satu hal “seru” lain dari sebuah perjalanan : bisa jadi separuh hatimu harus tertawan di sebuah tempat yang membuat kamu begitu ingin menikmati kenangan-kenangan saat kamu di sana... :-)

Kobe, Japan, 6 February, 2011

gambar diunduh dari http://www.istockphoto.com/stock-photo-407308-backpackers.php