Tuesday, March 24, 2009

Mana Rute Terpilih Untuk Pengambilan Keputusanmu?

Beberapa waktu yang lalu, saya dan 2 orang temen baik, -Ida dan Diana-, janjian untuk ketemuan. Fyi, janjian kali ini adalah janjian kesekian kali. Setelah janji-janji sebelumnya gagal kabeh. Wis jaaannn...!!! Maklumlah, saya ini berteman dengan orang-orang penting ITB dan konsultan. Makanya kudu sabar-sabar... :-D. Sembari minum kopi di dago dan cela-celaan, kami membicarakan bisnis baru (walaahhh... tumben lho, kita serius!!!), juga membicarakan beberapa hal berkaitan dengan filosofi hidup (hehehe... segitunyaahhh...;-p).
Tulisan kali ini hanya merupakan summary dari apa yang kami bicarakan saat itu. Topik pembicaraan kali ini berkaitan dengan cara pengambilan keputusan. Menurut kami, terdapat 3 rute pengambilan keputusan. Kami bertiga adalah representasi dari masing-masing rute tersebut, hanya dalam tulisan ini saya tidak merinci ”which route belongs to whom”. Bukan itu concern-nya ya boww...
Rute pengambilan keputusan itu sendiri dapat digambarkan sebagai berikut! Semisal ada 3 titik berhenti, yaitu meliputi: 1) Permasalahan; 2) Keyakinan; dan 3) Pengambilan Keputusan. Lebih rincinya sebagai berikut:











Rute I, A Rasional Style
Rute ini menempuh jalur: Permasalahan --> Keyakinan --> Pengambilan Keputusan. Disini pengambilan keputusan dilakukannya karena sudah merasa ”teryakinkan”. Jadi proses ”analisis” (untuk menjadi "teryakinkan") dilakukan sebelum mengambil keputusan.
Misalnya, di antara kami bertiga, sebutlah si A, adalah anak sulung yang terbiasa taking responsibility dan dependable (sangat bisa diandalkan). A bahkan yang paling rasional (level rasionalitasnya nyaris kayak cowok). Meski cewek, gak ada istilah termehek-mehek deh sama rasa yang nggak ”penting-penting”, termasuk dalam hal percintaan sekalipun. Amat sangat logis. Karenanya, saat dihadapkan dengan suatu permasalahan, si A adalah tipikal orang yang akan mengambil pilihan Rute I.
Ok, biar lebih jelas, kita pake contoh kasus. Misal terkait dengan unconditional love, yang jelas-jelas tuh relationship nggak mungkin dilanjutkan (entah karena alasan apapun). Didasarkan atas ”rasionalitas” bahwa apapun bentuk unconditional love itu irrasional dan time consuming, maka si A akan langsung (atau paling tidak nggak butuh waktu lama) mengambil keputusan untuk tidak meneruskannya. A very efective person.
Berdasar diskusi, di satu sisi, dengan memilih rute ini, seseorang nggak buang-buang waktu, tapi disisi lain, dia kurang kaya dengan berbagai rasa. (sok... boleh setuju ataupun enggak dengan pernyataan ini kok... :-p).
Rute II, Adventure Style
Jenis rute kedua melewati jalur Permasalahan --> Pengambilan Keputusan --> Teryakinkan --> Pengambilan Keputusan. Ini style si B. B adalah tipikal orang dengan spontanitas tergolong tinggi. Bahkan cenderung impulsive. B nggak perlu harus ”teryakinkan” terlebih dulu untuk mengambil keputusan. Selama itu ”sreg” di hati, she’ll take it. ”Sreg” di sini bisa dijelaskan sebagai suatu kondisi dimana adrenalin dan curiousity terpicu untuk mengetahui gimana pengalaman”didalamnya”. Proses analisis untuk menjadi "teryakinkan" dilakukan setelah mengambil keputusan . Makanya ada keputusan berikutnya.
Taruhlah pada contoh kasus, unconditional love. Kalo si B ‘sreg” untuk menjalaninya, gak peduli itu irrasional dan time consuming, she’ll go for it. Eventhough, she knew exactly that such a thing against values. Parah ya bow?? Mungkin!! Tapi sebenernya, she keeps setting up the limitation. Sebenernya secara rasio, si B menyadari bahwa it wouldn’t work, tapi dia pengen tau sebentaaaarrr aja, relationship jenis ini gimana rasanya yaahhhh??? Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, pada rute ini, proses analisis untuk menjadi "teryakinkan" dilakukan sembari 'menjalaninya"
So, alasan pastinya: pengen tau rasanya gimana dan pengen tau bisa bertahan sampai titik limitasi mana. Pada titik tertentu, setelah si B “nggak sreg” lagi, dan dah ngerasa bahwa di titik itulah dia “mesti” berhenti, lantas dia akan buat keputusan baru to quit from it.
Bisa dibilang, rute ini memang buang-buang waktu banget, hanya orang jenis ini akan punya “kekayaan rasa" lebih banyak. Tapi biar sukses menjalani rute ini, pasca pembuatan keputusan kedua, gunain dengan benar rasionalitas loe, jangan kebanyakan termehek-mehek. Bahaya tu!!
Rute III, Unclear Style
Jenis rute ketiga mengambil jalur: Permasalahan --> Teryakinkan --> Tapi tidak berani mengambil keputusan. Hampir sama dengan rute I, orang yang mengambil rute ini biasanya sangat rasional, saat dihadapkan pada suatu kondisi/permasalahan, dia perlu melakukan proses ”analisis” sampai merasa ”teryakinkan”. Hanya masalahnya, setelah ”teryakinkan" ni orang tidak berani mengambil keputusan. Akibatnya nggak jelas mo kemana dan suka mumet sendiri. Hahaha... Rute ini juga cukup time consuming dan kaya "rasa", hanya bentuk pengalamannya ”sedikit” berbeda dengan pengalaman yang dirasakan oleh pengambil rute II.
Basicly, pemilihan rute pengambilan keputusan ini”melekat” pada karakter” orang. Bahkan, tulisan ini sebenernya didasarkan atas observasi terhadap ”pola-pola” yang biasa diambil oleh masing-masing kami. Entah benar ataupun salah, tapi itulah kesimpulan sejauh ini. Setiap orang boleh setuju maupun tidak terhadap tulisan ini.
So, kamu termasuk tipikal pengambil keputusan dengan Rute yang mana?

Saturday, March 07, 2009

Sebuah Idealisme Bernama ”Kepuasan Intelektual”

Berkaitan dengan pekerjaan, ada beberapa sifat buruk saya (sebenernya saya punya banyak sifat buruk, tapi yang diceritain 3 aja... hihihi..:-D). Pertama, saya bukan tipikal pekerja keras. Bukan sama sekali. Mungkin banyak orang melihat saya sebagai hard worker, tapi pada kenyataan sebenarnya saya memiliki kecenderungan sebagai ”pemalas”. Nonton film, maen/hang out, nongkrong sama teman-teman, makan, tidur dan internetan adalah hal-hal yang saya sebut sebagai ”kesenangan hidup”. Intinya, saya ini penikmat hidup. Beneran. Bahkan, saya bisa jadi memilih hang out sama temen-temen saat semestinya saya harus menyiapkan ”something serious” untuk esok harinya. Huhuhu... parah!

Kedua, saya tipikal orang yang cuek dan sembarangan. Temen-temen kantor saya tau banget bagaimana kondisi meja kerja saya yang tidak pernah rapi dan selalu berantakan. Parahnya, saya tidak merasa terganggu dengan meja kerja yang ”semrawut” tersebut. Kalopun sekali waktu saya mencoba merapikannya (hal ini terjadi jika tiba-tiba dapet wangsit abis kesamber petir..:-p), paling hal itu akan bertahan barang 2-3 hari saja, selebihnya berantakan lagi. Hahaha... entahlah kenapa demikian. Bawaan orok sepertinya.

Ketiga, saya punya kecenderungan gak on-time. Hihihi... ngaku nih! Mungkin karena saya terbiasa tidur larut, maka bangun pagi adalah masalah besar bagi saya. Dulu, saat saya bekerja di konsultan, hal ini bukan masalah, tapi sejak 3 tahun yang lalu, saat saya berkeputusan bekerja kantoran dengan office hour 7.30-16.00, beberapa kali kebiasaan buruk ini membawa masalah. Makanya dalam hal absensi saya termasuk bagian dari ”teladan buruk” di kantor, suka telat datang soalnya. To be honest, meski saya punya alasan bahwa total jam kerja saya pada moment-moment tertentu sama atau bahkan jauh lebih banyak dari jam kerja semestinya, saya merasa tetap harus belajar banyak soal satu ini. So, don’t judge me ya. I keep trying to be punctual.

Dari beberapa sifat buruk yang saya miliki tersebut, saya tetap merasa bersyukur bahwa saya masih dianugerahi nilai-nilai (values) yang membangun sebuah idealisme hidup termasuk dalam bekerja. Beberapa idealisme ini men-driven hidup saya. Salah satunya saya sebut sebagai Idealisme ”Kepuasan Intelektual”.

Saya memang bukan pekerja keras, hanya saya adalah tipikal ”responsible person”. Apapun tanggungjawab yang diberikan, pasti saya lakukan ”sebisa” mungkin. Pantang bagi saya bilang ”nggak bisa”. Saya menganggap tanggungjawab sebagai sebuah ”tantangan”. Even kalo saya diserahi tanggungjawab untuk menghandle hal-hal diluar job description saya, I’ll do it. No matter what. Resah rasanya bila membiarkan sesuatu berjalan menuju ”tak tentu arah” hanya karena tidak ada yang mau/mampu menanganinya (sementara kita jelas-jelas berada di dalam sistem tersebut). Jengah rasanya bila kita tidak melakukan sesuatu semaksimal mungkin yang bisa kita lakukan. Dan yang jelas, it’s definitely nothing to do with money.

Dalam beberapa hal, saya memiliki kecenderungan”pola berfikir” yang berbeda dari orang lain. Saya bukan tipikal orang yang inggih-inggih manut atau ngikutin apa kata orang tanpa mengerti benar apa yang akan atau sedang saya lakukan, bos sekalipun (bukan bermaksud kurang ajar ni). Saya juga senang dengan sesuatu yang baru, berbeda, dan tidak biasa. Berkaitan dengan hal ini, sering kali saya harus rela ”jungkir balik/mati-matian bekerja” dan ”mempertaruhkan waktu pribadi” demi sesuatu idealisme yang disebut sebagai kepuasan intelektual. Be frankly, this often put me in lot of ”stress”. Hehehe... makanya saya suka iri dengan teman-teman yang bisa sedemikian fokus, lurus dan konsisten kehidupannya dan puas dengan metode yang biasa dan umum. Tapi di sisi lain, saya bangga bahwa saya masih memiliki “hal-hal” ini dalam hidup saya.

Wednesday, March 04, 2009

Kepingan Puzzle Kehidupan

I just got home after having chit-chat with a close friend in Citos. Emm… sebenernya rencana untuk kongkow bareng sama si bapak satu ini memang dah dari 2 mingguan yang lalu. Sayangnya karena kesibukan manager satu ini, beberapa kali pertemuan mesti dipending. Hehehe…

Icoes. Temen suka dan duka dari jaman kuliah meski beda jurusan; mulai hangout bareng kalo lagi mo ujian (weitzzz jangan salah… kita hangoutnya kalo mo ujian biar ada alasan nggak perlu blajar… makanya ancur tuh IPK S1 kita… tapi tetep dong lulus 4,5 tahun… hahaha), temen yang saya telpon kalo lagi bete and boring (hahaha…) temen yang selalu saya cela-cela dan demen banget nyela saya balik, temen yang kadang memerankan diri sebagai "setan" dan sewaktu-waktu berubah jadi "malaikat", dan lain-lain deh.

Saya suka dengan cara berfikirnya dan kreatifitas otaknya. Biar kata IP-nya dibawah saya (hahaha... ), emmm dijamin ni orang salah satu yang cerdas jebolan arus kuat ITB…huhuhu… mesti traktir makan-makan di Sizzler ni cus! (secara dah gue puji-puji). Makanya, dari dulu ketemu dan ngobrol dengannya memang jadi suatu hal yang sangat menyenangkan bagi saya. Sure. Apalagi kalo ngebahas tentang filosofi kehidupan. Beughh… dah bisa jadi berapa buku ya...??

Hari ini kita ngebahas tentang Puzzle Kehidupan.

Semisal kehidupan ini diumpamakan sebuah puzzle maka kita adalah salah satu kepingan puzzle yang diharapkan membentuk sebuah gambar yang "bermakna". Pertanyaan selanjutnya, sebagai sebuah kepingan puzzle, apakah peran yang saat ini kita mainkan sampai dengan saat ini “menyempurnakan” atau justru “merusak” gambaran puzzle secara keseluruhan?

Sebagai sebuah kepingan puzzle, kalo kita "tau" gambaran keseluruhan yang akan (ingin) kita bentuk, semestinya kita akan paham dimana menempatkan kepingan puzzle kita agar gambar bentukannya menjadi sempurna. Sayangnya, sering kali kita nggak mengerti kepingan puzzle kita ini mau ditaruh dimana. Sayangnya, sering kali kita nggak paham (atau lupa?) peran yang kita harus mainkan mestinya seperti apa. Instead of berfikir dan bertindak on the track, kita malah disibukkan dengan hal-hal yang "nggak penting".

Merenungkan hal ini bikin air mata saya ingin tumpah rasanya.To be honest, i keep struggling to know and to understand this.