Thursday, October 14, 2010

Antara Teman dan Konflik

Ada kalanya, ujung hari kita berakhir dengan gelak tawa, tapi ada pula saatnya air mata menjadi bumbu “pahit” yang menutup senja hari kita. Sebabnya pun bermacam. Salah satunya adalah karena teman.  

Ketika kita dewasa, teman, bisa teman kantor, teman kuliah, teman dari lingkungan tetangga, dll, adalah pihak yang paling banyak berinteraksi dengan kita ketimbang orang tua. Dengan segala keunikan dan keragamannya, teman bisa membawa kita ke dalam berbagai bentuk “kesenangan”. Hangout bareng, nongkrong ngopi bareng, ngegosip bareng, ngomongin ekonometrik bareng (.. :-p), diskusi politik bareng, nonton konser musik bareng, gila-gilaan di tempat karaoke bareng, atopun sekedar duduk di rumah dan berbalas celaan adalah hal-hal menyenangkan bila dilakukan bersama teman. Saat seperti itu, bisa dibilang teman adalah sumber “kesenangan”. 

Namun ternyata, frekuensi berbicara dua orang tidaklah selalu sama. Perbedaan ini bisa jadi karena sensitivitas radar penerima gelombang masing-masing orang yang terlalu tinggi, atau bisa juga radar pemancar gelombang kita yang kurang sensitif. Akibatnya frekuensi pembicaraan kita menjadi berbeda alias tidak-nyambung. Ketidak-nyambungan ini bisa bervariasi, dari level ringan hingga berat. Pada level berat, bisa dibilang teman adalah sumber konflik.

Pada situasi ini, dua orang yang berteman bisa jadi memiliki cara berbeda untuk mengatasi konflik diantara meraka. Namanya juga individu yang berbeda, bisa saja nilai (values) yang dianutpun berbeda. Akibatnya tindakan (action) yang merupakan pengejawantahan nilai (values) tersebut juga menjadi berbeda.  Menyatakan kekesalan secara terang-terangan, ataupun justru banyak diam adalah pilihan.
Saya pribadi , sebenarnya tergolong seorang extrovert yang cenderung memilih option pertama dalam menyelesaikan sebuah konflik, tapi tahun-tahun terakhir ini menjadi sedikit berbeda ketika saya lebih memilih untuk menjauhkan diri dan berdiam sementara waktu ketimbang menjadi “terlalu boros dengan kata-kata dan energi”. Entahlah, saya merasa “aman” dengan pilihan ini. 

Terlepas dari pilihan penyelesaian konflik yang saya ambil, bagi saya, teman tetaplah teman. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk mengampuni, pun tidak ada gengsi saya untuk meminta ampun. Saya meyakini, bahwa konflik hanyalah bentuk fluktuasi situasi yang akan menjadi warna-warna indah dalam kehidupan pertemanan.  Mungkin suatu hari, sebuah konflik justru akan dikenang karena merupakan bagian dari proses pendewasaan. Semoga.

Kobe, 14 October 2010.