Friday, April 23, 2010

Refleksi di Ujung Hari

Seorang teman curhat kemaren malam, mengisahkan kehidupannya yang sedang bermasalah. Saya terdiam mendengarkan dan tidak banyak bicara. Entahlah, seolah hilang semua perbendaharaan kata penghiburan untuknya. Mungkin karena saya sendiri sedang "kehilangan" iman terhadap setiap kata-kata bijak yang ada di kepala.

Waktu berlalu, saya lebih banyak diam. Mengingat airmata di ujung hari kemarin membuat saya masih sulit berfikir jernih.

Tapi kemudian saya ingat sebuah kalimat. God's way is God's love, itulah yang diyakini oleh seorang Khan di film "My Name is Khan". Saya suka banget kalimat itu, meski menurut saya, memahaminya bukanlah hal yang mudah karena faktanya, dari sudut pandang manusia, jalan Tuhan "tidak selalu" jalan yang "terlihat" indah, manis, dan mulus. Banyak jalan "sakit" yang mungkin dipakai oleh Yang Kuasa untuk membuka mata atau membuat hati kita mengerti dan memahami sesuatu. Jalan "sakit" tentunya adalah sebuah proses yang tidak mudah, mungkin ada air mata disana. Pun membangun optimisme sebuah ending yang happy bukannya gampang, butuh "iman" disana.

Tapi, kalo mau flashback ke hari-hari yang pernah terlewati, bukankah cintaNya Tuhan terbukti di sepanjang jalan yang kita lalui. Saat kita jatuh, bukankah Dia ada disana untuk menolong. Saat kita takut, bukankah Dia ada disana untuk memeluk. Saat kita terluka, bukankah Dia ada disana untuk menyembuhkan. Saat kita hilang arah, bukankah Dia ada di sana untuk menuntun. Saat kita sendiri, bukankah Dia ada di sana untuk menemani. Bukankah tidak ada alasan satupun untuk meragukan cintaNya? Tidak ada, tapi memang jalan Tuhan bukanlah jalan "instant".

Jadi, bila bangun pagi harimu disambut dengan kabut, bersabarlah, mungkin itu caraNya buat ngajarin kamu untuk belajar lebih mempercayakan harimu padaNya. Bila harimu menjadi sedikit berbeda karena Dia mengijinkan ada airmata di ujung harimu, bersabarlah mungkin itu caraNya untuk "membentuk" karaktermu. Bila jalan yang harus kamu lalui adalah jalan berkerikil atau berlobang, bertekunlah, mungkin itu adalah caraNya buat bilang bahwa kamu harus mengencangkan pegangan tanganmu kepadaNya.

So, cheer up your days friend for God never leave you!

Ruang 401, Depok, 23 april, 2010, 2.14


pic was downloaded from: http://www.google.co.id/imglanding?q=prayer%20images&imgurl



Sunday, April 18, 2010

Artis dan Politik Popularitas

Sebenernya issue tentang artis dan politik bukanlah hal baru. Dan dari dulu, beragam reaksi pun muncul terbagi antara optimistis, netral dan pesimistis. Tapi mungkin kehebohan "cerita" Jupe yang katanya "dipinang" oleh 8 parpol untuk menjadi bakal calon wakil bupati Pacitan 2 minggu terakhir ini menjadi "sedikit" berbeda. Ini menurut saya. berbedanya mungkin karena profil Jupe-nya. Sebagaimana cerita "artis dan politik" sebelumnya, cerita "Jupe dan politik" pun disambut dengan beragam respon, dari yang bernada serius sampai yang bernada banyolan-banyolan.

Meski saya sendiri kurang bisa membayangkan kalau Julia Perez menjadi seorang wakil bupati, tapi dalam konteks ini, Julia Perez tidaklah bersalah apa-apa, karena dia punya hak untuk itu. Bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi di bidang politik termaktub dalam konstitusi negara.Yang saya bingungkan: Apa yang dipikirkan oleh orang-orang dari 8 partai yang mengusung nama Jupe sebagai bakal calon wakil bupati Pacitan? What's in their minds actually? Entahlah.

Fenomena artis dan politik yang merebak beberapa tahun terakhir ini seolah semakin menegaskan bahwa di kancah perpolitikan negeri ini,  popularitas masih "cukup" mendominasi proses pemenangan suara publik, -sebuah politik popularitas, artinya the more popular you are, the more chance you have to be elected. Saya pribadi bukannya tidak setuju bahwa popularitas itu penting, tapi menurut saya, popularitas hanyalah sekedar berperan sebagai entry point saja. Lagi pula, popularitas mestinya tidak dimaknai sekedar seberapa banyak masyarakat mendengar atau familiar dengan sebuah nama. Tapi mestinya dipahami sebagai "popularitas dari sebuah kredibilitas". Kredibilitas dimaksud adalah kredibilitas untuk mengemban tugas dibidang politik dan pemerintahan, bukan bidang entertaintment.

Kredibilitas bidang politik dan pemerintahan bukan sesuatu yang bisa dilakukan secara otodidak, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Anda tidak bisa berstrategy sekedar "coba-coba" dalam memimpin karena disana jutaan jiwa bergantung pada keputusan yang anda ambil. Maka ketika kriteria popularitas diagung-agungkan, Pilkada hanya sekedar akan berhenti pada tercapainya proses politik yaitu "terpilihnya kepala daerah" saja, sementara proses pembangunan (terutama ekonomi) yang menjadi core demokrasi untuk 5 tahun selanjutnya hanya akan menjadi ajang "coba-coba".


Saya pribadi setuju dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, yang mengungkapkan bahwa pemerintah akan merevisi UU No 32 tahun 2004 khususnya pasal mengenai pemilihan Kepala Daerah. Bahwa nantinya akan ada persyaratan tambahan untuk meloloskan bakal calon yaitu syarat berpengalaman di parpol, organisasi kemasyarakatan, atau pernah menjadi anggota legislatif. Meski belum tentu akan "menjamin" kepastian ketercapaian tujuan dari proses demokrasi, menurut saya hal tersebut tujuannya baik. Selain untuk meminimalisasi politik popularitas juga untuk menyaring orang-orang "kredible" di kancah Pilkada. Harapan akhirnya adalah tercapainya tujuan "inti" dari demokrasi yaitu meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

gambar karikatur diambil dari web ini: http://ardyaweb.wordpress.com/2008/12/01/karikatur-artis-pilkada-2008/





Tuesday, April 06, 2010

Korupsi dan Jebakan "Harga Diri"...

Ada yang mengusik saya. dan sudah lama saya ingin menuliskannya. mungkin sejak 2 minggu yang lalu tepatnya. Sejak kasus Gayus Tambunan (GT) merebak dibicarakan oleh banyak orang. Kasus GT memang bukan kasus korupsi paling heboh yang pernah terjadi, karena ratusan kasus korupsi dari nominal kecil hingga milyaran pernah terjadi di negeri ini. Sayangnya, sebagian besar kasus itu tidak terselesaikan dengan semestinya. Kenapa tidak semestinya? menurut saya karena tidak-sebandingnya leveling korupsi (tingkat keparahan korupsi yang indikatornya bisa dilihat dari besarnya kerugian negara yang diakibatkannya) dengan ganjaran hukuman yang diberikan kepada si koruptor. Bayangkan! Koruptor milyaran rupiah hanya diganjar hukuman barang 4-5 tahun. Aghh... bener-bener kacow sudah... :-(

Korupsi di negeri ini memang sudah parah. Parah sekali malah. Banyak orang di setiap layer pemerintahan (pusat dan daerah), kepolisian, politisi, kejaksaan, dan sebagainya seolah "menjadikan" korupsi sebagai bagian dari kebiasaan yang dilestarikan. Mereka yang semestinya mengemban tugas melayani masyarakat justru menggunakan kewenangan yang mereka miliki untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dari kelemahan sistem yang ada, tanpa pernah berfikir berapa juta orang di negeri ini harus menderita karena ulah mereka.

Menyatakan bahwa korupsi adalah contoh "kekhilafan" yang bisa terjadi pada setiap pribadi ketika "rapuhnya benteng diri" bertemu dengan "kesempatan", atau meng-klaim bahwa "budaya korupsi" adalah "hasil bentukan lingkungan", bagi saya tetap saja tidak "tollerable". Bahwa kesalahan adalah bagian dari ketidaksempurnaan manusia dalam menjalani kehidupannya adalah pernyataan tidak terbantahkan yang seringkali menjadi senjata manusia untuk melegalisasi berbagai pilihan-pilihan tindakannya yang melawan norma. Bahwa dosa adalah bagian dari hidup manusia adalah benar. saya tidak akan munafik soal ini karena saya dengan segala keingin-tahuan saya terhadap banyak hal seringkali terjebak dalam situasi pemberontakan terhadap berbagai norma. tapi di value saya, korupsi adalah dosa keji dibandingkan dosa-dosa lainnya. karena darinya dibuahkan kesengsaraan besar sebuah negeri.

Menurut saya, intinya adalah nurani. Banyak orang di negeri ini seolah kehilangan nuraninya. Kita seringkali menempatkan value uang diatas segalanya, hingga tidak sadar bahwa kita sudah men-zolimi rakyat banyak. Kita seolah terjebak dalam pendefinisian harga diri yang melenceng jauh dari nurani dan kata hati. Harga diri yang menempatkan value materi di atas nilai-nilai kemanusiaan sejati. Harga diri yang menempatkan gaya hidup "wah" diatas nilai-nilai hakiki. Suatu kondisi yang menyangkal nurani atas nama "kesenangan diri".

Di sini, korupsi dipandang sebagai jalan singkat menuju pemenuhan "harga diri" yang terdifinisi dengan salah kaprah. Hasilnya, negeri ini dipenuhi oleh ribuan koruptor. Menyedihkan dan memprihatinkan.... :-(

Aghhh........


Saya bermimpi,
seandainya setiap orang merenungi diri, apa isi nurani, mungkin tidak akan ada korupsi lagi di negeri ini.


gambar diunduh dari http://www.cartoonstock.com

Sunday, April 04, 2010

"Depok" di Mata Saya: Dulu dan Kini...

Nge-blog lagi. Setelah sekian lama. Ya, lama saya tidak menyentuh blog ini. Aghh... malu saya. Beneran. Karena sebenarnya tidak ada kesibukan apapun yang bisa saya jadikan alasan untuk tidak ngeblog. Kalo boleh jujur, justru setahun terakhir ini waktu luang saya lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Ini karena aktivitas rutin saya akhir-akhir ini hanyalah kuliah dan kuliah. Jadi mestinya produktivitas saya dalam menulis lebih tinggi ketimbang pas saya kerja, tapi ... entahlah, saya seolah kehilangan passion buat ngeblog akhir-akhir ini. Waktu-waktu luang saya banyak terbuang begitu saja untuk sesuatu bernama "facebook-an"... :-D

Ya, sudahlah. lupakan. Hari ini, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, saya kembali nge-blog. Semoga cukup konsisten untuk menekuninya lagi. So guys, here I am again. Hehehe...

Kali ini saya mau bercerita mengenai Depok, kota tempat saya menghabiskan waktu selama setahun terakhir ini. Setelah hampir 10 tahun tinggal di Bandung, pindah ke Depok (meski hanya temporary) di awal Februari 2009 kemarin bukanlah hal yang mudah bagi saya. Kalo bukan karena urusan "sekolah", saya mungkin tidak akan mau pindah ke Depok. Hehehe... Emmm... saya rasa masalahnya bukan di Kota Depoknya deng, tapi di sayanya yang tidak mau ninggalin Bandung. Hehehe.

Be Frankly, Bandung dengan segala kenyamanannya membuat saya tidak terlalu "minat" terhadap "Kota Depok" pada awalnya. Bagaimana tidak? Urusan mata, jelas Depok kalah dari Bandung. Tempat nongkrong di Depok tidak banyak. Kalaupun ada satu ato dua, tetap saja tidak se-cozy cafe-cafe di Bandung. Pun mall-mall di Depok sangat "boring designnya". Maklumlah, saya demen nongkrong anaknya.

Urusan perut, tidak bisa disangkal Bandung adalah gudangnya makanan enak dan murah. Bandingin ama makanan di Depok yang gak variatif dan tidak enak. Nasinya aja keras banget. hikshiks... perut saya kan bukan "selepan beras" (mesin penggiling red). Belum lagi urusan udara. Huaaghhh, Depok panas teuing. Mungkin ada yang menyangkal dan bilang, "Agh kayak Bandung gak panas ajah!". Hehehe... bener, Bandung memang udah panas juga sekarang ini, tapi kalo di Bandung, gerahnya udara siang hari tidak akan terasa lagi kalo kita sudah masuk ke dalam rumah (pahadal rumahnya gak ber AC). Apalagi kalo tinggal di Bandung utara kayak saya. Hehehe...

Alasan terakhir adalah berkaitan dengan urusan hati, dan mungkin inilah alasan terberatnya karena toh tiga alasan pertama tadi hanya butuh waktu untuk penyesuaian diri saja. Berkaitan dengan hati, jauh dari Alison benar-benar bukan ide yang baik buat saya. Hehehe,,, jadi mungkin masalahnya memang bukan karena Depoknya, tapi di sayanya. Maklumlah sejak tahun 1997 saya sudah mulai terbiasa dengan udara Bandung.

Itu opini saya dulu pas pertama kali "tinggal" di Depok. Sekarang, setelah setahun menjadi penghuni gelap tetap kota ini, apakah opini saya berubah?

Berbicara mengenai urusan mata, perut, udara dan hati mungkin opini saya tidak banyak berubah. Bandung is still the best, meski saya sudah mulai menemukan beberapa tempat makan dan nongkrong yang enak di Depok. Tapi value added tinggal di Depok juga besar banget buat saya, bahkan saya mulai bisa bilang bahwa "after Bandung, Depok is a place where my brain grows up much" karena di sinilah saya belajar. Belajar dalam arti sesungguhnya. Iklim kampus yang edukatif, diajar oleh dosen-dosen yang cerdas, berkawan dengan orang-orang yang baik, pinter dan lucu (cenderung gila saya rasa... :-D), membuat hari-hari di Depok adalah hari-hari yang menyenangkan.

Jadi kini, bagi saya, Depok adalah bagian dari proses perjalanan hidup yang saya nikmati dan syukuri, karena saya menemukan banyak pelajaran di sana. Pelajaran tentang arti ketekunan, pertemanan, ketulusan, kasih sayang, air mata, perhatian, kemahabesaran Yang Kuasa dan banyak lagi. Bagi saya, apapun itu adalah sesuatu yang saya syukuri sampai hari ini, yang mudah-mudahan membentuk saya menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya.