Sunday, April 18, 2010

Artis dan Politik Popularitas

Sebenernya issue tentang artis dan politik bukanlah hal baru. Dan dari dulu, beragam reaksi pun muncul terbagi antara optimistis, netral dan pesimistis. Tapi mungkin kehebohan "cerita" Jupe yang katanya "dipinang" oleh 8 parpol untuk menjadi bakal calon wakil bupati Pacitan 2 minggu terakhir ini menjadi "sedikit" berbeda. Ini menurut saya. berbedanya mungkin karena profil Jupe-nya. Sebagaimana cerita "artis dan politik" sebelumnya, cerita "Jupe dan politik" pun disambut dengan beragam respon, dari yang bernada serius sampai yang bernada banyolan-banyolan.

Meski saya sendiri kurang bisa membayangkan kalau Julia Perez menjadi seorang wakil bupati, tapi dalam konteks ini, Julia Perez tidaklah bersalah apa-apa, karena dia punya hak untuk itu. Bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi di bidang politik termaktub dalam konstitusi negara.Yang saya bingungkan: Apa yang dipikirkan oleh orang-orang dari 8 partai yang mengusung nama Jupe sebagai bakal calon wakil bupati Pacitan? What's in their minds actually? Entahlah.

Fenomena artis dan politik yang merebak beberapa tahun terakhir ini seolah semakin menegaskan bahwa di kancah perpolitikan negeri ini,  popularitas masih "cukup" mendominasi proses pemenangan suara publik, -sebuah politik popularitas, artinya the more popular you are, the more chance you have to be elected. Saya pribadi bukannya tidak setuju bahwa popularitas itu penting, tapi menurut saya, popularitas hanyalah sekedar berperan sebagai entry point saja. Lagi pula, popularitas mestinya tidak dimaknai sekedar seberapa banyak masyarakat mendengar atau familiar dengan sebuah nama. Tapi mestinya dipahami sebagai "popularitas dari sebuah kredibilitas". Kredibilitas dimaksud adalah kredibilitas untuk mengemban tugas dibidang politik dan pemerintahan, bukan bidang entertaintment.

Kredibilitas bidang politik dan pemerintahan bukan sesuatu yang bisa dilakukan secara otodidak, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Anda tidak bisa berstrategy sekedar "coba-coba" dalam memimpin karena disana jutaan jiwa bergantung pada keputusan yang anda ambil. Maka ketika kriteria popularitas diagung-agungkan, Pilkada hanya sekedar akan berhenti pada tercapainya proses politik yaitu "terpilihnya kepala daerah" saja, sementara proses pembangunan (terutama ekonomi) yang menjadi core demokrasi untuk 5 tahun selanjutnya hanya akan menjadi ajang "coba-coba".


Saya pribadi setuju dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, yang mengungkapkan bahwa pemerintah akan merevisi UU No 32 tahun 2004 khususnya pasal mengenai pemilihan Kepala Daerah. Bahwa nantinya akan ada persyaratan tambahan untuk meloloskan bakal calon yaitu syarat berpengalaman di parpol, organisasi kemasyarakatan, atau pernah menjadi anggota legislatif. Meski belum tentu akan "menjamin" kepastian ketercapaian tujuan dari proses demokrasi, menurut saya hal tersebut tujuannya baik. Selain untuk meminimalisasi politik popularitas juga untuk menyaring orang-orang "kredible" di kancah Pilkada. Harapan akhirnya adalah tercapainya tujuan "inti" dari demokrasi yaitu meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

gambar karikatur diambil dari web ini: http://ardyaweb.wordpress.com/2008/12/01/karikatur-artis-pilkada-2008/





No comments: