Tuesday, April 08, 2008

Prosedur 2.7.5.0.0.0

Ada beberapa projek di Litbang, tempat saya bekerja. Saya ditunjuk untuk menjadi salah satu koordinator projek.

Untuk projek yang saya tangani, saya memang menginginkan sesuatu yang berbeda dari umumnya. Sesuatu yang bukan biasa-biasa. Saya menginginkan pemenuhan sebuah “ambisi intelektualitas” dan "ambisi creativitas". Sejak awal, metode yang saya gunakan memang berbeda dari biasanya, saya mencoba sebuah kombinasi metode yang saya pelajari dari 2 projek sebelumnya. Butuh waktu, ketekunan, dan kesabaran untuk menyelesaikan projek satu ini. Jujur, beberapa pekerjaan lain sempat terbengkalai karenanya. Saya sempat give up sesaat, tapi saya bangkit lagi. Bagi saya, tanggung jawab tetaplah tanggungjawab. Dan pengembaraan intelektualitas harus dipuaskan. Saya harus menyelesaikannya, tekad saya.

Akhirnya projek ini selesai. Paling pertama dari projek-projek lain. Dan saya sangat puas dengan hasilnya. Hari ini saya melenggang ke Kantor dengan sebuah perasaan “bangga” bahwa saya telah berhasil menyelesaikan semuanya dengan sempurna. Hati saya melambung dengan sesuatu berlabel “kepuasan intelektual”. I did it perfectly. Meski dengan setengah mati saya mengerjakannya.

Tapi ternyata tidak semua orang memahami. Saya “dikomplain” pihak keuangan HANYA karena dalam proses pembuatan laporan saya tidak melakukannya sesuai dengan prosedur koordin
asi dalam pembelian ATK senilai 275.000. Katanya, saya harus lapor dulu sebelum melakukan pengeprintan laporan di rumah, pengeprintan cover ke digital printing, tidak ujug-ujug reimburs nota (apalagi untuk konteks ambisi pribadi yang disalah artikan). Saya terdiam berfikir, "is 275.000 IDR a big amount? Apakah nilai itu lebih tinggi daripada kerja keras saya?? Fyi, saya mengeprint dengan menggunakan printer, tinta dan kertas milik pribadi. Berwarna pula. Secara fisik dan otak, saya capek sekali mengerjakan projek ini. Saya sengaja hanya reimburs barang-barang yang inti saja, karena buat saya tinta berwarna dan kertas itu cuman sepele. Kecil sekali itu nilainya bagi saya. Bukan untuk sombong, tapi untuk menunjukkan bahwa it’s mean nothing, not big deal. Apakah gara-gara nilai kecil itu, kerja keras saya "dipandang sebelah mata"? Oke, fine. Bilanglah, dalam hal ini saya terpaksa harus dibilang "salah". Tapi sekali lagi perlu dilihat bahwa itu hanya masalah kecil, tidak bisa dibandingkan dengan waktu, tenaga, dan otak yang saya gunakan untuk menyelesaian projek ini. Come on, think logically!!!

Saya SEDIH dan MARAH. Baru kali ini saya merasakan kemarahan yang membuncah terkait dengan pekerjaan kantor. Mata saya nanar. Hati saya panas. Otak saya tidak bisa menerima. Saya berontak. Saya marah karena menurut saya mereka tidak menghargai keseluruhan pekerjaan saya. Semestinya bila mereka memahami rangkaian proses yang sudah saya jalani, pengorbanan waktu dan otak yang saya dedikasikan to this damn project, kesalahan kecil ini tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi, kalau mereka mengerti bahwa pihak client begitu respect sama apa yang saya udah kerjakan, mereka harusnya bisa mikir bahwa saya sudah melakukan bagian saya sebaik-baiknya.

Tidak taukah? Bahwa saya telah membuang waktu saya selama 4 minggu terakhir ini dalam sebuah KESTRESSAN tingkat tinggi, untuk sebuah ambisi melakukan yang terbaik bagi projek ini. Atas dasar NAMA BAIK lembaga. Bahwa saya yang selama beberapa minggu terakhir “terpaksa” melanggar komitmen awal saya pada suami untuk tidak pernah membawa pekerjaan kantor ke rumah. Dan bahwa saya yang dengan segenap hati melakukan yang terbaik dan memberikan sentuhan seni pada projek ini. Bahwa saya yang harus mengeluarkan dana pribadi dan turun tangan sendiri mengeprint ratusan lembaran laporan, berhujan-hujan naik motor, mencari tempat digital printer yang bagus, menungguinya berjam-jam, hanya karena ingin memastikan bahwa hasilnya baik
.

I think there is no reason to beat me. I’ve died to try my best. Sayang, mereka tidak paham dan tidak mengerti.

Pelajaran Moral hari ini: Jangan libatkan bagian keuangan untuk urusan "creativity" dan "kepuasan intelektual". Funded it by yourself and keep it to the people who have the same vission.

10 comments:

Anonymous said...

Judulnya kereeeen ....
Tentang ini... aku cuman mau berbagi deh, bahwa apa yang sering kita anggap bahwa kita sudah kerjakan sebaik-baik mungkin... memang terkadang tidak mendapatkan tempat atau perhatian yang kita harapkan. Dan itu gak cuma di lingkungan kerja... di rumah pun bisa terjadi, dengan suami juga anak2. Aku coba untuk tidak terlalu peduli jika itu terjadi di kantor... tapi kalo kejadiannya di rumah aku suka nangis2 juga tuhh... walaupun ujung2nya aku coba telaah kenapa kok bisa seperti itu.....
Ya... itulah hidup Kris... di tengah orang2 yang sudah pasti mempunyai perasaan dan pikiran serta keinginan yang berbeda-beda....
Dan jika kita bisa saling menghargai satu sama lain... itu akan terasa menjadi lebih indah.. Mudah-mudahan ya .....

Kris Tasrin said...

hehehe... tapi buatku kejadian hari ini lucu tapi mengesalkan. sangat mengesalkan. It just take 275.000 IDR, what would happend if it takes 10 million? wouldn't they kick me out? What a silly stuff.

Harianta said...

Kris...

Saya setuju banget kalau Kris sampai melapor ke atasan kamu, memperjuangkan 'nilai jual' yang kamu sudah upayakan. Client satisfaction itu kan jauuuuh lebih mahal dari p.r.o.s.e.d.u.r 2.7.5.0.0.0 (judul yg keren) itu.

Kadang sy berpikir sebenarnya budaya berpikir seperti inilah yang membuat bangsa kita jauh terbelakang.Itu juga perbedaan besar yg saya lihat antara manajemen perusahaan swasta (terutama MNC) dengan pemerintah (sebagai seorang yang udah pernah kerja dikeduanya).

Birokrasi kita cenderung mempersulit.Sedih sekali nasib bangsa kita kalau harus begini terus.

Manajer atau atasan (yg saya pelajari dari sebuah training manajemen) seharusnya menjadi:
1.fasilitator (ide, kreatifitas, fasilitas).
2.beaureucracy smasher. Bila ada hambatan demi sebuah tujuan signifikan (contoh kamu adalah karya yg bukan sembarangan, client satisfaction), manajer harusnya berani mengambil langkah mem-bypass karena mereka punya otoritas. Salah satu mantan bos saya malah akan merengkuh koceknya utk membayar karya kamu itu bila memang itu bagus sebagai bentuk supportnya terhadap karya yang masterpiece.

Blocking youtube, multiply, semua berasal dari 'roh' yang sama.Legalisme.

Kalau melihat ke masa lampau, salah satu institusi terbaik yang memperjuangkan hal2 seperti kebebasan ini adalah kampus ITB. Jadi ingat bagaimana mahasiswa bisa mengambil kuliah Agama yg beda dgn agama yg dia anut, bisa PD atau PA di selasar TVST. Bahkan birokrasi kampus juga terasa sangat meringankan.

Mudah-mudahan bangsa kita bisa dicerahkan.Tetap berkarya lho Kris!!Kamu tetap akan memberi perbedaan dengan idealisme itu.Mudah2an kontribusi kamu yg berada dalam sistem pemerintahan sekarang bisa berlanjut, mendapat satu posisi otoritas sehingga bisa memberikan dampak yang lebih positif ketika kamu kelak terlibat dalam membuat kebijakan.

*wah, jadi emotional juga jadi komennya panjang gini..hehe. Intinya...saya dukung Kris untuk bt, marah dan kalau bisa protes ke atasan...:-)*

cheers
rudi

Kris Tasrin said...

rudi,
thanks untuk comment nya. Juga untuk dukungannya. aku lagi cooling down ni. Aku pasti cerita sama bosku nanti, sayangnya beliau lagi di Korea. Pengen cerita, tapi bukan untuk menjelekkan orang lain, bukan untuk meminta pembelaan, bukan untuk subuah justifikasi pembenaran juga. Aku cuman pengen memberikan beberapa usulan n masukan, supaya hal-hal kek gini gak terjadi lagi kedepannya. Semoga beliau mau mengerti. btw, budaya legalisme memang sepertinya sudah mendarah daging di nusantara tercinta ini. HIks.

Anonymous said...

Banyak hal yang tidak disangka2.. eh kejadian deh....
Tapi yang namanya prosedur pasti bakal ditemui dalam setiap urusan kita. Manusia hidup di dunia ini kan musti manut aturan. Bayangkan deh kalo gak ada aturan... apa jadinya dunia....
Tinggal bagaimana mencari cara supaya gak kejebak dalam prosedur ataupun birokrasi yang menyulitkan. Oks...
Ada baiknya pengalaman kemaren dijadikan bekal supaya gak masuk ke situasi yang sama... bener gak jeng....

Kris Tasrin said...

anonymous,
bener banget, aturan dibuat supaya objek yang diatur menjadi teratur. I do agree with it.

Tapi sebaiknya aturan itu logis dan justru dibuat untuk bisa men-stimulate berbagai kemajuan (bukan hanya sekedar keteraturan).

Kalau kita lihat dan pelajari, yang disebut "terobosan a.k.a breakthrough" sering kali lahir dari sebuah "penentangan" terhadap arus.

Susy Ella said...

bw m'kris....:
1. sabar....semua pasti ada hikmahnya.
2. jangan gara2 kejadian ini m'kris jadi kapok untuk berkreativias yaa...
ella setuju kok ma pendapat m'kris. intelektual akan bertambah nilainya jika dibumbui dengan kreativitas.
kaku, monoton, basi....kalo cuma mengandalkan intelektual..
tapi...
segalanya akan dinamis, indah,n ga akan basi jika ada kreativitas.

tetaplah pertahankan ide n cara kerjanya... walau mungkin next time harus lebih hati2 lagi.
ella salut lho ma m'kris...dengan segala ide pemikirannya... you are my inspiration (cieeeeee...pasti langsung senyum2 gitu deh)
be strong...keep smile...keep rock!!!

Kris Tasrin said...

thanks ella. keep rock yah? hehehe... we did it la. kita udah melakukan tahapan ini bertiga (ama dodi juga) dengan baik. semoga kita selalu bisa jadi tim soild kedepannya ya. masih banyak PR yang harus kita kerjakan bareng-bareng la. thanks untuk support kamu la sampai sejauh ini. Good Job girl! :-D

Anonymous said...

typical problem di sebagian besar perusahaan dalam negeri. bukan hanya di man't perusahaan milik negara, tapi juga di man't perusahaan swasta, bahkan juga di perusahaan swasta yg konon punya nama besar di publik (trust me about this).

bedanya: kalo itu terjadi di perusahaan negara, masih bisa "dimaklumi" sbg bagian dari proses perubahan kultur perusahaan yg tidak bisa diharapkan semudah membalik telapak tangan, apalagi kalo sudah membudaya selama 32 tahun. tapi kalo terjadi di perusahaan swasta, menimbulkan pertanyaan besar: "ini perusahaan mau bertahan sampai kapan?"

anyway... kalo aku mah, reimburse anggap aja "bonus". kalo cair, syukur (meski itu sebenarnya hak). tapi kalo ga juga gpp, nothing to lose. anggap aja itu "nilai" yg kita bayar utk menghargai diri kita sendiri, utk menghargai kreativitas kita. it's all worthed kok. buktinya, puas toh dgn hasil maksimal pekerjaan kita?

so the message is: nothing can buy the satisfaction of giving the very best shot :)

Kris Tasrin said...

lia - sangpenyiar,
iya li, bener banget. gue setuju. "nothing can buy the satisfaction of giving the very best shot".