Tuesday, February 08, 2011

... Perbedaan Bukanlah Kesalahan...

Sebagai manusia, kita akan merasa lebih nyaman bila berbicara dan berinteraksi dengan orang-orang yang cenderung memiliki kesamaan dengan kita. Menurut saya, hal itu wajar bin normal. Karena memang pembicaraan antara dua orang atau lebih akan terasa nyambung bila masing-masing pihak berbicara pada “frekuensi” yang sama. 

Dalam konteks pertemanan sehari-hari, bertemu dan berbicara dengan orang yang memiliki hobby yang sama memang akan lebih nge-klik ketimbang dengan teman dengan hobby berbeda. Sesama pecinta U2 tentu akan lebih nyambung saat ngomongin soal Bono dan The Edge ketimbang dua orang dengan selera musik berbeda. Sesama penggemar film-film triller, tentu akan lebih nyambung omongannya ketika membicarakan film-film seperti Fight Club, The Dark Knight, atau Shutter Island, ketimbang dua orang dengan taste film yang berbeda.  

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu yang sering kali kita banggakan dari negara kita, Indonesia, adalah keberagamannya. Kita dengan bangga menyebutkan begitu beragamnya suku bangsa, bahasa, agama dan keyakinan, budaya dan tradisi yang ada di negara kita. Merasa nyaman bila bergaul dalam komunitas yang memiliki kesamaan etnik, agama/keyakinan, dan bahasa, adalah hal yang lumprah

Masalahnya, dunia ini penuh dengan perbedaan, dan kita tidak selalu bisa bertemu dengan orang yang “selalu sama” dengan kita. Pun dua orang dengan hobby yang sama, pasti memiliki perbedaan dalam hal-hal lain. Ketika saya, yang tidak terlalu menyukai sejarah, bertemu dengan seseorang yang seolah menjadikan sejarah sebagai passion-nya, bukan berarti saya tidak bisa berteman dengannya, bukan?  Bukankah, saya tinggal duduk diam mendengarkan, sembari sesekali menanggapi ceritanya dan saya mendapat mengetahuan gratis soal sejarah darinya. Hal yang sama semestinya terjadi dalam konteks perbedaan lainnya. Karena menurut saya, sebuah perbedaan akan jadi sangat menyenangkan ketika kita memilih untuk mengganggapnya sebagai sebuah kekayaan, tanpa perlu menjadi sangat bawel kenapa seseorang memilih menjadi berbeda. 

Dimanapun, perbedaan adalah bagian dari kehidupan yang tak terelakkan. Baik dalam konteks pertemanan maupun kehidupan berbangsa dan bernegara, perbedaan adalah warna yang mestinya bisa memperkaya kehidupan. Namun, fakta menunjukkan bahwa berkali-kali kita telah gagal memahami makna keberagaman. Berkali-kali kita gagal memandang perbedaan sebagai sebuah kekayaan. Berkali-kali kita tidak mampu menjiwai kebanggaan kita terhadap kebhinekaan Indonesia. Kita malah lebih sering melihat perbedaan sebagai sebuah ancaman, sebagai sesuatu yang harus dimusnahkan. Dan ketika perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang meresahkan, dampaknya sungguh mengerikan.  

Saya berfikir, 

Bila perbedaan adalah sesuatu yang tak terelakkan, lantas kenapa kita masih sering sekali menolaknya? Bila perbedaan adalah bagian yang takterhindarkan, lantas kenapa kita malah sering kali mengharamkannya? Bukankah ketika kita tidak bisa menerima keberagaman, kita sebenarnya sedang mengutuki Tuhan? Ketika kita menolak perbedaan, bukankah kita sedang mencibir kebesaran karyaNya?

Mungkin karena nurani kita telah “terkaburkan” oleh fanatisme, sehingga kita tidak bisa melihat dengan jernih makna sebuah perbedaan. “Menjadi berbeda”  bukanlah suatu kesalahan, apalagi dosa. Ia ada dan tidak perlu diperdebatkan keberadaannya. Pun dalam konteks keyakinan, menjadi berbeda bukanlah hal yang  perlu dipersoalkan. Karena bukankah perbedaan adalah bukti keagungan dan keluarbiasaan Tuhan dalam menciptakan manusia. So, mestinya, perbedaan penjadi pengingat kita akan kebesaran karyaNya. Dan bahwa bagian kita adalah menghormatinya (saja).


Kobe, Japan, 8 February 2011

Gambar diunduh dari: http://nihongo.istockphoto.com/stock-illustration-1779882-diversity-hands-vector.php

Sunday, February 06, 2011

Cerita Sebuah Perjalanan

Sebagaimana kebanyakan orang, saya menyukai perjalanan dan tempat baru. Bukan sekedar demi sebuah profil keren untuk ditampilkan di facebook, tapi memang saya menikmati setiap moment dalam perjalanan yang saya lakukan. Saya sangat menikmati proses eksplorasi hal hal baru. Saya menikmati proses berinteraksi, pun dalam diam, di tempat baru saya mendapatkan kesenangan dari sebuah proses mengamati. Passion saya seolah ada disana. That's why, for me, working on itinerary is always much more fun instead of working on economics journals, particularly journals on monetary theory and international finance. Those two subjects are used to put me in many long and tiring nights...  :-D!

Dengan atau tanpa teman, bagi saya perjalanan tetaplah menyenangkan. Menyenangkan karena bagi saya, tempat baru seolah men “quarantee” adanya pengalaman baru di sana. Suasana baru, budaya baru, nilai (values) baru, orang-orang baru adalah variable-variable yang membuat sebuah perjalanan menjadi bermakna “seru”. Sebagaimana kata seru dalam tanda kutip, masing-masing orang memiliki privilege untuk mendefinisikan sesuai keinginannya. Bagi saya pribadi, “seru” tidak harus lahir dari hal-hal yang menyenangkan. Entah kenapa, sebuah perjalanan selalu membuahkan sesuatu yang tak terduga. Entah ketakterdugaan karena sesuatu yang menyenangkan ataupun kurang menyenangkan. Dan jujur, saya menikmatinya. Saya belajar darinya.

Eropa dan Asia timur adalah salah satu mimpi saya tahun lalu. Karena pas itu sudah pasti berangkat sekolah ke Jepang, saya merencanakan perjalanan saya ke Europe sekalian. Pas itu, pikir saya: mumpung ntar  lagi sekolah di Jepang, saya pengen maen ke Eropa. Kalimat ini mungkin terdengar kurang rasional buat sebagian orang. Bagaimana tidak, it takes 19 hours (plus 3 hours transit in Hongkong) from Kansai to Amsterdam. It means, penggunaan kata “mumpung” pada kalimat tersebut kuranglah tepat, karena butuh niat di sana. It also takes 110.000 yen for asking Cathay Pacific to fly me from Kansai to Amsterdam. It’s not cheap. Sekali lagi, butuh niat di sana. Tapi saya mendefinisikan kata “mumpung” dari sudut pandang yang berbeda. Dan, “mumpung” disana saya definisikan sebagai mumpung saya punya waktu untuk melakukannya. Hehehe... :-p

Entah sebuah keberuntungan atau “keapesan” (hehehe...), saya keterima sekolah di Kobe University yang mensyaratkan ngambil matakuliah 20 sks, yang bikin orang pontang panting ujian, ngerjain papers dan presentasi. Entah sebuah anugerah atau “musibah”, saya terlahir dengan beberapa idealisme yang kadang menempatkan saya kedalam beberapa masalah. Misalnya kewajiban ambil kuliah cuman 6 kuliah + 2 seminar, saya genapkan dengan mengambil 8 kuliah + 2 seminar. Dan idealisme itu mahal harganya, jendral!... :-D. Butuh malam-malam panjang penuh dengan begadang di sana.

Keruwetan karena “padatnya” kuliah belum cukup nampaknya, sehingga mesti ditambah dengan keruwetan ketika mesti berurusan dengan kedutaan Belanda di Tokyo. Saya tinggal di Kobe, it’s about 8 hours away from Tokyo by bus or less then 3 hours by shinkansen (super fast train). But I prefer went to Tokyo by bus instead of gave up 30.000 yen as a trade off if I go by shinkanshen (ngirit... ngirittt). Sebenernya, Konsulat jendral Belanda ada yang di Osaka yang jaraknya 45 menit dari Kobe, tapi apesnya saya, sejak Aprl 2010, Konjen Belanda yang di Osaka tidak melayani pembuatan Visa Schengen lagi. Hehehe... berhubung invitation letter saya dari seorang temen di Belanda, mau gak mau saya apply ke kedutaan belanda, which means I have to go to Netherland Embassy in Tokyo in person. Lagi-lagi, butuh niat disana.

Karena saya baru nyampe di Jepang tgl 29 September 2010 dan apply visa schengen sekitar pertengahan november 2010, membuat pihak kedutaan belanda seolah ragu-ragu untuk mengabulkan permohonan visa saya. Karena itu berarti rekening bank saya baru berumur 1.5 bulan pada saat proses aplikasi. Note: biasanya kedutaan memerlukan umur rekening minimal 3 bulan. Hahaha... bener-bener dah. Berkali-kali pihak kedutaan menekankan bahwa umur rekening saya masih baru. Saya pasrah saja pas itu, lha wong emang rekeningnya masih baru (plus gak bawa buku tabungan yang Indonesia pulak).  Pas itu, tiket sudah ditangan saya. Brubung itu tiket promo yang tanggalnya fixed, posisi saya pas itu cukup “kritis”, artinya kalau visa saya tidak diapprove dan saya batal berangkat, maka saya akan terkena cencellation fee 40%. Deg-degan abis!!, Tapi saya beruntung, sekitar seminggu kemudian, saya berhasil mendapatkan financial quarentee dari sponsor yang langsung saya emailkan ke Kedutaan Belanda yang di Tokyo. Gotchaa... 2 minggu kemudian saya dapet berita bahwa visa schengen saya diapprove. 

Keribetan belum berakhir karena saya baru mendapatkan paspor saya dari Kedutaan Belanda 3 hari sebelum berangkat, saat itu saya juga masih menyimpan kestressan akibat masih harus presentasi sehari sebelum berangkat. Fyughhh... bener-bener!! Akhirnya tanggal 22 Desember dengan berbekal satu ransel dan 1 tas slempang saya berangkat dari Kansai International Airport menggunakan Cathay Pasific, transit di Hongkong dan kemudian mendarat di Schipol, Amsterdam.

Meski diawali dengan keribetan dan kekacauan saat persiapan, perjalanan ke eropa kemaren termasuk perjalanan yang saya syukuri dan saya bilang sangat berkesan. Sebagaimana saya bilang sebelumnya, setiap orang pasti berharap hal-hal menyenangkan terjadi dalam hidupnya, termasuk dalam perjalanan yang dilakukannya. Tapi faktanya, perjalanan sering kali membuahkan sesuatu yang tak terduga. Sesuatu yang tak terduga itu bisa jadi menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Entah apa pendapat orang lain tentang cerita tidak enaknya di perjalanan, bagi saya pengalaman tidak selalu diperoleh dari hal hal yang menyenangkan. 

Sebenernya, beberapa “kekacauan” juga terjadi selama perjalanan ke eropa kemaren. Pesawat saya dari Eindhoven ke Madrid dicancel gara-gara badai salju yang berakibat tiket pesawat dari Madrid ke Paris hangus (dan kudu naik bus dari Amsterdam ke Paris), sedikit konflik pertemanan yang berdampak pada  tiket pesawat Berlin-Amsterdam juga rela saya hanguskan karena sesuatu hal, masalah kedinginan karena itulah winter pertama saya, dan beberapa hal lainnya. Tapi itu semua memberi pelajaran berharga buat saya.  Setidaknya saya paham how to deal with these such situations.

Cerita menyenangkan dari sebuah perjalanan pastilah ada. Banyak malah. Seperti cerita saat ngerayain natal bareng dengan keluarga Om John ama Tante Dorthy, WNI yang dari tahun 1978 tinggal di Belanda, ketemu temen-temen kuliah dulu di ITB dan UI, kenalan dengan temen-temen baru, mengunjungi sorbonne yang bikin jantung deg-degan, ngeliat Lovre dan Versailess yang merupakan bagian dari keingintahuan karena cerita sejarah dan cerita film, menikmati malam tahun baru di paris meski gak ada kembang api (hihihi... ), menjajal transportasi di negara-negara eropa, melihat budaya dan kebiasaan orang, berinteraksi dengan backpackers lainnya, ketemu orang-orang seru dan inspiring, ngeliat cowok-cowok ganteng (halah), berbagi cerita dengan temen-temen, dan lain sebagainya.

So, bagi saya, 18 hari perjalanan ke Eropa bulan lalu adalah perjalanan “seru” karena itu adalah bagian dari mimpi-mimpi lama. Dan bagi saya, tidak ada hal yang lebih seru dari saat kita bisa berjalan didalam hal-hal yang kita pernah impikan. Kita memang tidak pernah bisa menduga rangkaian cerita akhir dari sebuah perjalanan, makanya, nikmati saja kemana angin membawa. Satu hal “seru” lain dari sebuah perjalanan : bisa jadi separuh hatimu harus tertawan di sebuah tempat yang membuat kamu begitu ingin menikmati kenangan-kenangan saat kamu di sana... :-)

Kobe, Japan, 6 February, 2011

gambar diunduh dari http://www.istockphoto.com/stock-photo-407308-backpackers.php

Thursday, October 14, 2010

Antara Teman dan Konflik

Ada kalanya, ujung hari kita berakhir dengan gelak tawa, tapi ada pula saatnya air mata menjadi bumbu “pahit” yang menutup senja hari kita. Sebabnya pun bermacam. Salah satunya adalah karena teman.  

Ketika kita dewasa, teman, bisa teman kantor, teman kuliah, teman dari lingkungan tetangga, dll, adalah pihak yang paling banyak berinteraksi dengan kita ketimbang orang tua. Dengan segala keunikan dan keragamannya, teman bisa membawa kita ke dalam berbagai bentuk “kesenangan”. Hangout bareng, nongkrong ngopi bareng, ngegosip bareng, ngomongin ekonometrik bareng (.. :-p), diskusi politik bareng, nonton konser musik bareng, gila-gilaan di tempat karaoke bareng, atopun sekedar duduk di rumah dan berbalas celaan adalah hal-hal menyenangkan bila dilakukan bersama teman. Saat seperti itu, bisa dibilang teman adalah sumber “kesenangan”. 

Namun ternyata, frekuensi berbicara dua orang tidaklah selalu sama. Perbedaan ini bisa jadi karena sensitivitas radar penerima gelombang masing-masing orang yang terlalu tinggi, atau bisa juga radar pemancar gelombang kita yang kurang sensitif. Akibatnya frekuensi pembicaraan kita menjadi berbeda alias tidak-nyambung. Ketidak-nyambungan ini bisa bervariasi, dari level ringan hingga berat. Pada level berat, bisa dibilang teman adalah sumber konflik.

Pada situasi ini, dua orang yang berteman bisa jadi memiliki cara berbeda untuk mengatasi konflik diantara meraka. Namanya juga individu yang berbeda, bisa saja nilai (values) yang dianutpun berbeda. Akibatnya tindakan (action) yang merupakan pengejawantahan nilai (values) tersebut juga menjadi berbeda.  Menyatakan kekesalan secara terang-terangan, ataupun justru banyak diam adalah pilihan.
Saya pribadi , sebenarnya tergolong seorang extrovert yang cenderung memilih option pertama dalam menyelesaikan sebuah konflik, tapi tahun-tahun terakhir ini menjadi sedikit berbeda ketika saya lebih memilih untuk menjauhkan diri dan berdiam sementara waktu ketimbang menjadi “terlalu boros dengan kata-kata dan energi”. Entahlah, saya merasa “aman” dengan pilihan ini. 

Terlepas dari pilihan penyelesaian konflik yang saya ambil, bagi saya, teman tetaplah teman. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk mengampuni, pun tidak ada gengsi saya untuk meminta ampun. Saya meyakini, bahwa konflik hanyalah bentuk fluktuasi situasi yang akan menjadi warna-warna indah dalam kehidupan pertemanan.  Mungkin suatu hari, sebuah konflik justru akan dikenang karena merupakan bagian dari proses pendewasaan. Semoga.

Kobe, 14 October 2010.

Friday, April 23, 2010

Refleksi di Ujung Hari

Seorang teman curhat kemaren malam, mengisahkan kehidupannya yang sedang bermasalah. Saya terdiam mendengarkan dan tidak banyak bicara. Entahlah, seolah hilang semua perbendaharaan kata penghiburan untuknya. Mungkin karena saya sendiri sedang "kehilangan" iman terhadap setiap kata-kata bijak yang ada di kepala.

Waktu berlalu, saya lebih banyak diam. Mengingat airmata di ujung hari kemarin membuat saya masih sulit berfikir jernih.

Tapi kemudian saya ingat sebuah kalimat. God's way is God's love, itulah yang diyakini oleh seorang Khan di film "My Name is Khan". Saya suka banget kalimat itu, meski menurut saya, memahaminya bukanlah hal yang mudah karena faktanya, dari sudut pandang manusia, jalan Tuhan "tidak selalu" jalan yang "terlihat" indah, manis, dan mulus. Banyak jalan "sakit" yang mungkin dipakai oleh Yang Kuasa untuk membuka mata atau membuat hati kita mengerti dan memahami sesuatu. Jalan "sakit" tentunya adalah sebuah proses yang tidak mudah, mungkin ada air mata disana. Pun membangun optimisme sebuah ending yang happy bukannya gampang, butuh "iman" disana.

Tapi, kalo mau flashback ke hari-hari yang pernah terlewati, bukankah cintaNya Tuhan terbukti di sepanjang jalan yang kita lalui. Saat kita jatuh, bukankah Dia ada disana untuk menolong. Saat kita takut, bukankah Dia ada disana untuk memeluk. Saat kita terluka, bukankah Dia ada disana untuk menyembuhkan. Saat kita hilang arah, bukankah Dia ada di sana untuk menuntun. Saat kita sendiri, bukankah Dia ada di sana untuk menemani. Bukankah tidak ada alasan satupun untuk meragukan cintaNya? Tidak ada, tapi memang jalan Tuhan bukanlah jalan "instant".

Jadi, bila bangun pagi harimu disambut dengan kabut, bersabarlah, mungkin itu caraNya buat ngajarin kamu untuk belajar lebih mempercayakan harimu padaNya. Bila harimu menjadi sedikit berbeda karena Dia mengijinkan ada airmata di ujung harimu, bersabarlah mungkin itu caraNya untuk "membentuk" karaktermu. Bila jalan yang harus kamu lalui adalah jalan berkerikil atau berlobang, bertekunlah, mungkin itu adalah caraNya buat bilang bahwa kamu harus mengencangkan pegangan tanganmu kepadaNya.

So, cheer up your days friend for God never leave you!

Ruang 401, Depok, 23 april, 2010, 2.14


pic was downloaded from: http://www.google.co.id/imglanding?q=prayer%20images&imgurl



Sunday, April 18, 2010

Artis dan Politik Popularitas

Sebenernya issue tentang artis dan politik bukanlah hal baru. Dan dari dulu, beragam reaksi pun muncul terbagi antara optimistis, netral dan pesimistis. Tapi mungkin kehebohan "cerita" Jupe yang katanya "dipinang" oleh 8 parpol untuk menjadi bakal calon wakil bupati Pacitan 2 minggu terakhir ini menjadi "sedikit" berbeda. Ini menurut saya. berbedanya mungkin karena profil Jupe-nya. Sebagaimana cerita "artis dan politik" sebelumnya, cerita "Jupe dan politik" pun disambut dengan beragam respon, dari yang bernada serius sampai yang bernada banyolan-banyolan.

Meski saya sendiri kurang bisa membayangkan kalau Julia Perez menjadi seorang wakil bupati, tapi dalam konteks ini, Julia Perez tidaklah bersalah apa-apa, karena dia punya hak untuk itu. Bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi di bidang politik termaktub dalam konstitusi negara.Yang saya bingungkan: Apa yang dipikirkan oleh orang-orang dari 8 partai yang mengusung nama Jupe sebagai bakal calon wakil bupati Pacitan? What's in their minds actually? Entahlah.

Fenomena artis dan politik yang merebak beberapa tahun terakhir ini seolah semakin menegaskan bahwa di kancah perpolitikan negeri ini,  popularitas masih "cukup" mendominasi proses pemenangan suara publik, -sebuah politik popularitas, artinya the more popular you are, the more chance you have to be elected. Saya pribadi bukannya tidak setuju bahwa popularitas itu penting, tapi menurut saya, popularitas hanyalah sekedar berperan sebagai entry point saja. Lagi pula, popularitas mestinya tidak dimaknai sekedar seberapa banyak masyarakat mendengar atau familiar dengan sebuah nama. Tapi mestinya dipahami sebagai "popularitas dari sebuah kredibilitas". Kredibilitas dimaksud adalah kredibilitas untuk mengemban tugas dibidang politik dan pemerintahan, bukan bidang entertaintment.

Kredibilitas bidang politik dan pemerintahan bukan sesuatu yang bisa dilakukan secara otodidak, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Anda tidak bisa berstrategy sekedar "coba-coba" dalam memimpin karena disana jutaan jiwa bergantung pada keputusan yang anda ambil. Maka ketika kriteria popularitas diagung-agungkan, Pilkada hanya sekedar akan berhenti pada tercapainya proses politik yaitu "terpilihnya kepala daerah" saja, sementara proses pembangunan (terutama ekonomi) yang menjadi core demokrasi untuk 5 tahun selanjutnya hanya akan menjadi ajang "coba-coba".


Saya pribadi setuju dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, yang mengungkapkan bahwa pemerintah akan merevisi UU No 32 tahun 2004 khususnya pasal mengenai pemilihan Kepala Daerah. Bahwa nantinya akan ada persyaratan tambahan untuk meloloskan bakal calon yaitu syarat berpengalaman di parpol, organisasi kemasyarakatan, atau pernah menjadi anggota legislatif. Meski belum tentu akan "menjamin" kepastian ketercapaian tujuan dari proses demokrasi, menurut saya hal tersebut tujuannya baik. Selain untuk meminimalisasi politik popularitas juga untuk menyaring orang-orang "kredible" di kancah Pilkada. Harapan akhirnya adalah tercapainya tujuan "inti" dari demokrasi yaitu meningkatnya kesejahteraan masyarakat.

gambar karikatur diambil dari web ini: http://ardyaweb.wordpress.com/2008/12/01/karikatur-artis-pilkada-2008/





Tuesday, April 06, 2010

Korupsi dan Jebakan "Harga Diri"...

Ada yang mengusik saya. dan sudah lama saya ingin menuliskannya. mungkin sejak 2 minggu yang lalu tepatnya. Sejak kasus Gayus Tambunan (GT) merebak dibicarakan oleh banyak orang. Kasus GT memang bukan kasus korupsi paling heboh yang pernah terjadi, karena ratusan kasus korupsi dari nominal kecil hingga milyaran pernah terjadi di negeri ini. Sayangnya, sebagian besar kasus itu tidak terselesaikan dengan semestinya. Kenapa tidak semestinya? menurut saya karena tidak-sebandingnya leveling korupsi (tingkat keparahan korupsi yang indikatornya bisa dilihat dari besarnya kerugian negara yang diakibatkannya) dengan ganjaran hukuman yang diberikan kepada si koruptor. Bayangkan! Koruptor milyaran rupiah hanya diganjar hukuman barang 4-5 tahun. Aghh... bener-bener kacow sudah... :-(

Korupsi di negeri ini memang sudah parah. Parah sekali malah. Banyak orang di setiap layer pemerintahan (pusat dan daerah), kepolisian, politisi, kejaksaan, dan sebagainya seolah "menjadikan" korupsi sebagai bagian dari kebiasaan yang dilestarikan. Mereka yang semestinya mengemban tugas melayani masyarakat justru menggunakan kewenangan yang mereka miliki untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dari kelemahan sistem yang ada, tanpa pernah berfikir berapa juta orang di negeri ini harus menderita karena ulah mereka.

Menyatakan bahwa korupsi adalah contoh "kekhilafan" yang bisa terjadi pada setiap pribadi ketika "rapuhnya benteng diri" bertemu dengan "kesempatan", atau meng-klaim bahwa "budaya korupsi" adalah "hasil bentukan lingkungan", bagi saya tetap saja tidak "tollerable". Bahwa kesalahan adalah bagian dari ketidaksempurnaan manusia dalam menjalani kehidupannya adalah pernyataan tidak terbantahkan yang seringkali menjadi senjata manusia untuk melegalisasi berbagai pilihan-pilihan tindakannya yang melawan norma. Bahwa dosa adalah bagian dari hidup manusia adalah benar. saya tidak akan munafik soal ini karena saya dengan segala keingin-tahuan saya terhadap banyak hal seringkali terjebak dalam situasi pemberontakan terhadap berbagai norma. tapi di value saya, korupsi adalah dosa keji dibandingkan dosa-dosa lainnya. karena darinya dibuahkan kesengsaraan besar sebuah negeri.

Menurut saya, intinya adalah nurani. Banyak orang di negeri ini seolah kehilangan nuraninya. Kita seringkali menempatkan value uang diatas segalanya, hingga tidak sadar bahwa kita sudah men-zolimi rakyat banyak. Kita seolah terjebak dalam pendefinisian harga diri yang melenceng jauh dari nurani dan kata hati. Harga diri yang menempatkan value materi di atas nilai-nilai kemanusiaan sejati. Harga diri yang menempatkan gaya hidup "wah" diatas nilai-nilai hakiki. Suatu kondisi yang menyangkal nurani atas nama "kesenangan diri".

Di sini, korupsi dipandang sebagai jalan singkat menuju pemenuhan "harga diri" yang terdifinisi dengan salah kaprah. Hasilnya, negeri ini dipenuhi oleh ribuan koruptor. Menyedihkan dan memprihatinkan.... :-(

Aghhh........


Saya bermimpi,
seandainya setiap orang merenungi diri, apa isi nurani, mungkin tidak akan ada korupsi lagi di negeri ini.


gambar diunduh dari http://www.cartoonstock.com